Jumat, 06 September 2019

Optimisme Ekonomi Digital Indonesia

© Disediakan oleh PT. Kompas Cyber Media
Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim (kiri) bersama Pendiri Alibaba Jack Ma (kanan) menjadi pembicara di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10). Forum diskusi tersebut membahas Disrupting Development: How digital platforms and innovation are changing the future of developing nations.

"Anjing menggonggong kafilah berlalu," begitulah pepatah yang pantas disematkan dalam gelaran bergengsi IMF-World Bank Group annual meeting 2018 di Bali. Gelaran itu gres saja usai. Indonesia terbilang sukses menggelarnya.

Dari banyak sekali segi boleh dibilang gelaran ini sama apiknya dengan pelaksanaan Asian Games 2018. Jumlah penerima yang fantastis, nilai promo bagi Indonesia, keapikan dalam penyelenggaraan, kesempatan bagi pejabat-pejabat tinggi kita duduk sama tinggi dengan ekonom kelas dunia, serta capaian-capaian penting lainnya.

Tak heran kalau banyak kebanggaan berdatangan dari pemimpin negara-negara dan juga forum keuangan dunia. Ini terperinci semakin meningkatkan rasa percaya diri kita sebagai bangsa yang diprediksi banyak kalangan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat pada tahun 2050.
Namun ibarat pepatah tadi, selalu ada yang tidak puas. Tetapi sebagai bangsa aku menentukan perilaku objektif: mendapatkan dengan bangga.

Pertemuan ini sendiri mendatangkan investasi dalam bidang infrastruktur yang nilainya mencapai 202 triliun rupiah. Tak hanya dana, komitmen kerjasama lainnya juga dicapai melalui pertemuan itu. Salah satunya janji dalam pengembangan SDM (sumber daya manusia) Indonesia dalam hal teknologi.

Kesepakatan ini dicapai bersama salah satu raksasa teknologi dunia asal Tiongkok, Alibaba. Jack Ma melalui Alibaba membantu pengembangan SDM Indonesia dengan jadwal 1.000 pengusaha bidang digital. Bahkan Jack Ma eksklusif bertindak dengan melibatkan lima merk Indonesia diperdagangkan dalam ajang Single’s Day di China.

Ekonomi Digital
Baiklah, kita fokus pada dampak pertemuan itu terhadap perkembangan ekonomi digital Indonesia. Mengapa? Karena konsumsi dan kehidupan tengah shifting kedalam dunia cyber, ekonomi semakin kolaboratif, dengan munculnya banyak inisiatif yang didasari sharing economy.

Kaum muda - generasi millenial, bukan generasi kolonial, yaitu motor aktivis utama dalam transformasi ekonomi menuju ekonomi digital. Di OJK saja, kini kita mulai biasa menyaksikan belum dewasa muda berkaos oblong atau bersepatu kets mengurus perijinan sektor keuangan. Mereka itulah para juragan fintech yang merubah peta kompetisi perbankan dunia.

Di rumah, belum dewasa muda itu tetaplah anak-anak, tetapi dalam dunia gres itu mereka yaitu idola kaum muda. Dan kegiatan mereka itu tak lepas dari mata para menteri keuangan dunia. Itu sebabnya muncul bahasan Bali Fintech Agenda, dengan dorongan untuk merelaksasi hukum dan mendorong pelibatan fintech dalam inklusi keuangan.

Potensi Digital Indonesia
Pada tahun 2016, berdasarkan laporan Huawei dan Oxford Economics yang berjudul Digital Spillover, ekonomi digital dunia mencapai 11,5 triliun dollar. Ini sama dengan 15,5 persen dari GDP dunia. Lalu kurang dari satu dekade kemudian angkanya meningkat luar biasa menjadi 25 persen GDP dunia. Bagaimana dengan potensi digital Indonesia?

Dalam laporannya belum usang ini, McKinsey menyebutkan bahwa ekonomi digital Indonesia kini hampir sama dengan China pada tahun 2010, berdasarkan indikator-indikator ibarat penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet, pengeluaran ritel, dan urbanisasi.

Pada tahun 2017, nilai perdagangan online Indonesia mencapai 8 miliar dollar. Nilai ini meningkat menjadi 55 hingga 65 miliar dollar pada tahun 2022. Sedangkan penetrasi pengguna internet meningkat dari 74 persen penduduk memakai internet dikala ini menjadi 83 persen pengguna di tahun 2022.

Benarlah Jack Ma dikala berbicara di IMF-World Bank Group annual meeting beberapa hari yang lalu, "tiga puluh tahun yang lalu, kalau tidak ada pedoman listrik, maka negara tersebut tidak mempunyai harapan. Sekarang, acuannya bukan lagi pedoman listrik, melainkan koneksi internet."

Akses internet yang jelek sama artinya dengan hilangnya kesempatan belum dewasa muda untuk mendapatkan isu dan pengetahuan.

Perlu dicatat, di Asia Tenggara dikala ini sudah ada 8 Unicorn dan setengahnya berasal dari Indonesia. Mereka antara lain: Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Begitupun dengan nilai pendanaan yang didapat Indonesia dari venture capital selama tiga tahun ini mencapai 38 persen dari total pendanaan di Asia Tenggara.

Dampak Perdagangan Online
Dengan pencapaian dikala ini saja, dampak yang dihasilkan luar biasa. Mengacu pada laporan McKinsey (2018), perdagangan online mempunyai dampak di empat area. Pertama, financial benefits. Saya kira ini jelas. Indonesia yaitu pasar terbesar untuk e-commerce di Asia Tenggara. Nilainya dikala ini kurang lebih 2,5 milyar dollar dan akan menjadi 20 milyar dollar di tahun 2022.
Nilainya meningkat delapan kali dalam kurun lima tahun. Untuk diketahui, 30 persen dari penjualan e-commerce yaitu konsumsi gres yang tidak pernah terjadi di perdagangan offline.
Kedua, job creation. Diperkirakan akan ada 26 juta pekerjaan gres di tahun 2022 jawaban dari ekonomi digital ini yang kebanyakan dipengaruhi oleh perkembangan perjuangan mikro, kecil dan menengah (UMKM). Agaknya ini juga yang menciptakan Jack Ma menciptakan seni administrasi biar Alibaba fokus pada UMKM di China. Bahkan Jack Ma menyampaikan “helping small business to make money is the key”.
Lalu, buyer benefits. Ini sanggup dilihat dari harga-harga di marketplace e-commerce yang biasanya lebih murah dari offline. Dengan berbelanja online, konsumen di luar Jawa sanggup menghemat 11 hingga 25 persen dibandingkan berbelanja di ritel tradisional.

Terakhir, social equality. Mungkin ini dampak yang kurang kita sadari. Ekonomi digital telah berdampak terhadap kesetaraan gender, inklusi layanan keuangan, pemerataan pertumbuhan dan persoalan sosial lainnya. Faktanya, perempuan menikmati 35 persen “kue” penjualan online dibandingkan dengan 15 persen pada ritel tradisional. Ini artinya kesetaraan gender memungkinkan dicapai melalui ekonomi digital.

Begitupun dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan yang semakin dinikmati masyarakat. Dengan adanya ekonomi digital, bisnis kecil yang awalnya hanya menjual produknya di kota asalnya dikala ini sanggup menjual produknya ke luar kota bahkan luar negeri.

Membangun Ekosistem Digital

Singkat kata, pertemuan IMF-World Bank Group ini sangat Istimewa bagi Indonesia. Lucu kalau masih ada yang mengaitkan dengan utang, lantaran aktivitas yang dibahas bukan soal sumbangan sungguhpun dilaksanakan oleh forum pemberi pinjaman. Kita berpikir sehat saja. Ambil keuntungannya untuk masa depan perekonomian kita. Bukankah dunia sedang dipenuhi banyak kerisauan dan mentalitas kalah?

Jadi, kita benahi saja PR-PR yang belum dikerjakan. Tetap fokus, berdiri masa depan. Ekosistem digital harus terus dibangun, lantaran ia memainkan tugas untuk membentuk interkoneksi yang menciptakan segalanya menjadi terhubung. Ini artinya pembangunan infrastruktur logistik harus terus diupayakan.

Begitupun dengan sistem pembayaran digital Indonesia yang masih tertinggal dari negara tetangga ibarat Malaysia dan Thailand. Disini tugas fintech yang melayani cashless payment sangat diperlukan untuk mendorong shifting sistem pembayaran.

Penulis: Rhenald Kasali
Editor: Bambang Priyo Jatmiko
Copyright Kompas.com
Sumber: MSN

Optimisme Ekonomi Digital Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Update

0 komentar:

Posting Komentar