Minggu, 08 September 2019

Engineering Fee: Beban Berat Untuk Asuransi Umum

Tahun 2016 yang lalu, saya menerbitkan artikel berjudul “Kompetisi Industri Asuransi Umum Masih Sehatkah? Sebuah Refleksi Atas Satu Tahun SEOJK No. 21/SEOJK 05/2015”. Artikel itu memuat kecemasan penulis terhadap rapuhnya SE OJK, sebab mengatur rate dan diskon tetapi tetap membuka lubang besar yang dinamakan Engineering Fee. Engineering Fee berdasarkan Frequently Asked-Question / FAQ OJK 2014 (yang turut dibatalkan dengan munculnya SE OJK yang terbaru), merupakan biaya survey risiko yang sanggup ditagihkan kepada perusahaan asuransi, di mana survey harus dilakukan oleh pihak ketiga dan harus ada invoice orisinil semoga engineering fee tersebut sanggup dibayarkan. Kala itu, mediator asuransi masih coba coba cilukba untuk meminta Engineering Fee, entah 2.5% sampai 5%. Disebut coba coba cilukba sebab masih ada rasa takut ‘tercyduk’ (bahasa kekinian untuk istilah terjaring) audit OJK jikalau terbukti melaksanakan pelanggaran.

Setahun kemudian coba coba cilukba engineering fee ternyata makin terbuka. Apalagi sampai dikala ini, belum terdengar terang adanya mediator (entah perusahaan asuransi, broker, agen, atau peratara sejenisnya) yang ‘tercyduk’ oleh OJK sebab secara sah dan meyakinkan memperlihatkan atau mendapatkan biaya akuisisi lebih dari seharusnya. Nilai engineering fee bahkan makin dahsyat (dengar-dengar sanggup lebih dari 20% untuk okupasi-okupasi risiko tertentu). Maka ya sudah, konsekuensinya jelas. Perusahaan asuransi makin terbebani dengan biaya engineering fee (atau kadang beberapa menyebutnya sebagai survey fee, additional fee, bahkan ada yang secara terang-terangan menyebut sebagai additional discount untuk tertanggung). Entah apapun namanya, meningkatnya engineering fee menjadi beban berat untuk asuransi umum.

Premi lini asuransi properti turun 7% dan engineering fee yang tidak terkendali
Diberitakan dalam Kontan.co.id (6/9), sampai pertengahan tahun ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat perolehan premi dari lini asuransi properti mengalami penurunan sedalam 7%. Dalam rentang waktu yang sama, total premi susut 4% menjadi Rp. 29,16 triliun. Sayangnya, angka tersebut ialah angka kotor. Karena apabila pendapatan higienis dihitung, penurunan premi asuransi properti diyakini akan turun drastis. Saya sendiri yakin, engineering fee yang semakin liar menciptakan margin premi neto perusahaan asuransi umum semakin terpuruk.

Contoh sederhananya, apabila broker/agen mendapatkan biaya akuisisi 15% dan engineering fee sebesar 15%, maka broker akan mendapatkan total pemasukan 30% premi gross. Nantinya mereka akan menanggung biaya survey, biaya konsultasi, diskon tambahan, dan pajak -- jikalau ada. Apabila perusahaan asuransi mendapatkan penerimaan komisi dari reasuransi yang berkisar di angka 35%, maka perusahaan asuransi hanya akan mendapatkan margin sekitar 5% dibanding dengan total biaya untuk mediator yang nantinya dipakai untuk membayar klaim, honor karyawan, biaya adjuster, dan seterusnya. Di sini ada ironi. Asuransi yang membayar klaim, tetapi mediator justru yang mempunyai margin sangat lebar; sekalipun kadang-kadang sebagian besar marginnya diberikan kepada tertanggung sebagai diskon/tambahan diskon. Ini harusnya menjadi perhatian OJK di mana kecukupan premi menjadi faktor penting dalam keberlangsungan bisnis perusahaan asuransi umum dan jaminan pembayaran klaim.

Engineering fee yang tidak terkendali tidak hanya menurunkan premi neto yang didapatkan perusahaan asuransi, namun juga menciptakan persaingan industri asuransi menjadi sangat tidak sehat. Perusahaan asuransi yang memberikan  engineering fee yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memperlihatkan engineering fee lebih rendah. Broker/agen/perantara asuransi yang memperlihatkan diskon yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memperlihatkan diskon lebih rendah. Perang tarif memang sudah usai, tetapi perang engineering fee dan perang diskon berkecamuk di medan perang yang sama.

Penutup: siapa kambing hitamnya?
Lantas perlukah kita mencari kambing hitam? Mungkin tidak perlu ya. Toh, tampaknya perusahaan asuransi umum tidak terdengar mengajukan komplain ke OJK. Broker juga tidak terdengar mengajukan keberatan kepada regulator. Saya saya yang gemas dengan hukum OJK yang tampaknya tanggung dan sanggup dibilang anget-anget tahi ayam. Saya sebut tanggung sebab OJK sungguh mengatur tarif asuransi harta benda dan kendaraan bermotor semoga ada kecukupan premi bagi perusahaan asuransi untuk membayar klaim dan untuk pertumbuhan perusahaan, tetapi di sisi lain seolah membuka kompetisi engineering fee yang tidak sehat dan berbahaya. Disebut hangat-hangat tahi ayam sebab tampak sangat agresif dan ditakuti ketika mengeluarkan SE OJK wacana asuransi – beserta FAQ-nya di awal-awal, tetapi sekarang tampak hirau dengan perang engineering fee yang semakin menggila.

Regulasi yang terang mengenai engineering fee atau additional fee atau survey fee atau sponsorship atau apapun bentuknya harus segera dibuat. Wibawa OJK sebagai regulator atau wasit-pun harus kembali ditunjukkan biar tidak tampak ibarat macan ompong. Jika tidak cepat, tunggu saja perusahaan asuransi yang lelah menanggung beban ini. Kaprikornus bagaimana OJK, bisa?


-------------------------------
Opini Oleh: Afrianto Budi
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan instansi daerah saya bekerja atau pun posisi yang saya miliki.
-------------------------------

Engineering Fee: Beban Berat Untuk Asuransi Umum Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Update

0 komentar:

Posting Komentar