Penyelenggara : Bank Indonesia dan JICA
Penyaji bahan : 1. Kementerian Keuangan
2. Kementerian Koperasi dan UMKM
3. Kementerian Dalam Negeri
4. Jamkrida Jawa Timur
5. Asosiasi BPD
6. JICA
Peserta Worshop : Pemerintah Daerah, BPD, Asosiasi BPD, Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementerian Dalam
Negeri, PT. Askrindo, dan Perum Jamkrindo
Peserta Askrindo : 1. Purwadi
2. Mulyono
Ringkasan bahan workshop
Kurangnya modal dalam pembentukan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) mengemuka pada ketika Workshop Pengembangan LPKD yang diselenggarakan BI dan JICA tanggal 24 Pebruari 2010. Modal LPKD minimal Rp. 50 milyar sesuai PMK No.222/2008 menjadi kendala konkret bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk LPKD. Permasalahan regulasi yang beberapa waktu kemudian menjadi hambatan, sekarang sanggup diatasi lantaran ada pinjaman dari pemerintah terutama Kementerian Keuangan. Pembentukan LPKD Jamkrida Jatim yang gres terbentuk bulan Desember 2009 yang didukung oleh Menteri Keuangan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan RI No: KEP-471/KM.10/2009 tanggal 17 Desember 2009 wacana Pemberian Ijin Usaha Perusahaan Penjaminan Kredit kepada PT. Jamkrida Jatim merupakan bukti konkrit bahwa permasalahan aturan atau regulasi telah sanggup diatasi. Dengan potensi bisnis penjaminan kredit relatif besar, berdasarkan data BI, yaitu sekitar 52 % kredit perbankan disalurkan kepada UMKM. Potensi dan peluang bisnis yang besar ini harus ditangkap perusahaan berhubungan dengan Pemerintah Daerah dalam membentuk LPKD sebagai perpanjangan tangan bisnis perusahaan penjaminan sekaligus sanggup membantu aktivitas pemerintah mengembangkan UMKM di daerah.
Potensi Kredit UMKM Cukup Besar
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada tahun 2009 jumlah kredit yang disalurkan ke masyarakat sekitar 52 % diperuntukan untuk UMKM. Pertumbuhan kredit UMKM cenderung meningkat dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit non UMKM dan kredit perbankan. Dengan jumlah kredit UMKM yang relatif besar ini merupakan potensi ekonomi luar biasa yang sanggup dipakai sebagai potensi bisnis penjaminan kredit UMKM. Pangsa penyaluran kredit MKM hingga dengan tahun 2006 lebih didominasi oleh kredit mikro. Pada tahun 2007 – 2008 relatif berimbang antara kredit mikro dengan kredit kecil, sedangkan pada tahun 2009 lebih banyak ditujukan ke kredit kecil yaitu sekitar 37,7 % Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan kredit kecil sebesar 28,3 % tumbuh lebih besar dibandingkan dengan kredit mikro (9,1 %) dan menengah sebesar 4,7 %. Pada tahun 2009, performance (NPL) kredit UMKM lebih kecil dari 5 % dengan rincian yaitu NPL kredit mikro sebesar 4,36 %; kredit kecil sebesar 2,07 % ; dan kredit menengah sebesar 3,48 %. Apabila kredit UMKM dilihat dari sektor ekonomi maka kredit UMKM di sektor perdagangan, restoran & hotel paling besar yaitu 25,9 % yang kemudian diikuti dengan sektor jasa sebesar 6,2 % dan industri 5,8 %. Penyerapan kredit perbankan oleh UMKM belum optimal lantaran masih banyak UMKM yang belum menikmati terusan pembiayaan dari perbankan atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Berdasarkan data BPS, pada tahun 2008 jumlah unit UMKM sebanyak 51,26 juta unit dan jumlah UMKM yang terhubung dengan perbankan gres sebesar 21,9 % ataua sebanyak 11,22 juta unit.
UMKM yang belum terhubung dengan perbankan ini disinyalir disebabkan lantaran UMKM yang mempunyai perjuangan feasible namun tidak bankable, juga bisa disebabkan oleh UMKM yang memang belum tersentuh oleh pelayanan perbankan lantaran tidak sanggup menembus keberadaan UMKM di kawasan atau ketidaktahuan UMKM atas pelayanan perbankan yang sanggup mengakomodir kebutuhan finansial UMKM. Lepas dari itu semua, potret kondisi UMKM ini bisa menjadi potensi ekonomi yang besar dengan mengatakan kesempatan ekonomi pada UMKM untuk berkontribusi lebih besar dalam perekonomian nasional.
Permasalahan Modal LPKD
Peranan ekonomi UMKM yang terbukti sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi selama ini, perlu didukung dan dikembangkan dengan jalan membantu kesulitan UMKM dalam mendapatkan pembiayaan untuk modal kerja maupun investasi. Jumlah UMKM yang mempunyai perjuangan yang feasible namun tidak bankable diperkirakan masih banyak dan tersebar diseluruh kawasan di Indonesia. Untuk mengembangkan UMKM menyerupai ini Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pada bulan Juni 2007 yang dituangkan dalam Inpres No. 6/2007 wacana Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Salah satu kebijakannya ialah memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM antara lain dengan:
(1) Meningkatkan kapasitas dan aakses UMKM-K kepada forum keuangan; (2) Memperkuat sistem penjaminan kredit; dan (3) Optimalisasi penggunaan dana non bank untuk memperkuat UMKM-K. Berdasarkan Inpres No. 6/2007 tersebut, pemerintah telah menugaskan 2(dua) Perusahaan Penjaminan yaitu PT. Askrindo (Persero) dan Perum Jamkrindo untuk melaksanakan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kapasitas ke dua perusahaan penjaminan tersebut ketika ini belum bisa melayani UMKM di seluruh pelosok kawasan di Indonesia yang disebabkan lantaran masih kurangnya jaringan pelayanan perusahaan penjaminan dan kurangnya kapasitas penjaminan untuk menjamin KUR di seluruh kawasan Indonesia. Keberadaan UMKM sebagian besar berada di tingkat Kabupaten/Kota yang memang memerlukan pelayanan yang lebih progresif dan perlu dijangkau oleh perusahaan penjaminan.
Program Inpres No. 6/2007 sanggup diimplementasikan secara optimal dengan pinjaman perusahaan penjaminan yang tersebar di seluruh provinsi atau kawasan tingkat II di Indonesia. Untuk itu diharapkan suatu Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) yang sanggup bekerja di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Tujuan pendirian LPKD antara lain untuk membantu mengatasi terusan kredit/pembiayaan UMKM dari perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank juga mengatakan akomodasi penjaminan kredit/pembiayaan bagi UMKM melalui prosedur penjaminan kredit daerah. Pola penjaminan kredit dengan skim LPKD ini bersama-sama telah dirintis oleh PT. Askrindo semenjak tahun 1997. PT. Askrindo sebagai perusahaan penjaminan milik pemerintah semenjak tahun 1997 telah melaksanakan skim penjaminan kredit dengan teladan LPKD ini di beberapa provinsi namun belum optimal lantaran keterbatasan kapasitas penjaminan dan regulasi pemerintah belum mendukung dalam mengembangkan penjaminan kredit dengan skim LPKD tersebut. . PT. Askrindo sanggup dikatakan sebagai pioner dalam pembentukan LPKD di daerah.
Pada tanggal 24 Pebruari 2010 telah diselenggarakan suatu workshop yang dilaksanakan oleh BI dan JICA untuk membahas pengembangan LPKD di Indonesia. Workshop yang dihadiri antara lain oleh Pemerintah Daerah seluruh Indonesia, BPD, Perusahaan Penjaminan, dan Regulator telah meng-clear-kan problem regulasi atau aturan yang selama ini menjadi kendala pendirian LPKD dengan dibuktikannya pembentukan LPKD Jamkrinda Jawa Timur. LPKD Jamkrida Jatim ini didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 4 tahun 2009 tanggal 16 Juli 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan RI No: KEP-471/KM.10/2009 tanggal 17 Desember 2009 wacana Pemberian Ijin Usaha Perusahaan Penjaminan Kredit kepada PT. Jamkrida Jatim. Dalam workshop tersebut juga mengemuka mengenai permasalahan modal yang dipersyaratkan dalam membentuk LPKD sesuai dengan PMK No. 222/PMK.010/2008 wacana Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Pada pasal 11 dalam PMK No. 222/2008 tersebut dikatakan bahwa Jumlah Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah penjaminan ditetapkan paling sedikit sebesar: a). Rp. 100 milyar untuk lingkup nasional; dan b) Rp. 50 milyar untuk lingkup provinsi. Ketentuan modal dalam PMK tersebut berdasarkan Pemerintah Daerah telah menjadi kendala yang konkret dalam pembentukan LPKD lantaran tidak semua provinsi atau tingkat kabupaten/kota mampu.
Rekomendasi
Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam workshop, kami memandang perlu mengatakan saran dan rekomendasi baik yang ditujukan kepada perusahaan PT Askrindo maupun kepada regulator LPKD sebagai berikut:
I. Solusi permasalahan persyaratan modal LPKD
Permasalahan yang dikemukakan oleh akseptor workshop yang sebagian besar dari pemda dan BPD dalam workshop terungkap bahwa permasalahan persyaratan minimal pembentukan LPKD sebesar 50 milyar sudah menjadi kendala nyata. Persyaratan modal pembentukan LPKD ini telah menghambat impian beberapa pemda menyerupai dari provinsi Jawa Barat, NTB, Sumsel, dan NTT.
Ada aneka macam cara atau taktik untuk mengatas permasalahan modal dalam pembetukan LPKD tersebut yaitu:
(1). LPKD intinya didirikan melalui prosedur pembiayaan bersama (joint service/contract agreement) bersama pemerintah sentra (melalui PMN) dan sanggup juga secara regional dengan prinsip co-sharing dan co-financing oleh dan antar pemerintah kawasan baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Permasalahan modal dalam pembentukan LPKD sanggup diselesaikan dengan cara adanya co-sharing antara pemerintah tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten/kota yang berada dalam wilayah provinsi tersebut. Misal di provinsi A ada sepuluh kabupaten/kota maka untuk mencapai persyaratan modal Rp 50 miliar maka setiap pemda di tingkat provinsi atau kab/kota bisa sharing minimal Rp. 5 miliar. Pemerintah Daerah di tingkat kab/kota ataupun di tingkat provinsi sanggup memperoleh manfaat LPKD ini dengan mengajukan jumlah UMKM di masing-masing kabupaten/kota atau provinsi yang layak dibantu dengan penjaminan kredit UMKM. Proses seleksi UMKM yang layak memperoleh penjaminan kredit UMKM dari LPKD dari kabupaten/kota yang telah mengatakan bantuan modal ini perlu dilaksanakan secara profesional (bebas KKN) dan adil sesuai dengan profil perjuangan UMKM yang layak di bantu oleh aktivitas penjaminan UMKM. Dengan demikian, ada azas manfaat bantuan modal pemda kab/kota dalam membentuk LPKD di daerah.
(2). Kebutuhan persyaratan modal dalam pembentukan LPKD intinya muncul lantaran ada kekhawatiran dalam penyelesaian klaim penjaminan kredit UMKM. Kekhawatiran tidak adanya kemampuan penyelesaian klaim yang terjadi ini sanggup diselesaikan dengan melibatkan perusahaan penjaminan milik pemerintah menyerupai PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo yang sudah mempunyai kapasitas penjaminan yang relatif besar. Pemerintah harus memposisikan dan mendukung kedua perusahan tersebut sebagai Holding Company dari LPKD yang akan didirikan di kawasan sehingga persyaratan modal pembentukan LPKD menjadi menurun lantaran sudah didukung secara finansial oleh kedua perusahaan. Dengan sistem pembentukan holding company tersebut, syarat permodalan LPKD sanggup diturunkan misal menjadi Rp. 5 miliar saja.
Dengan sistem holding company dalam pembentukan LPKD kawasan ada beberapa keunggulan yaitu:
a). Dapat dilakukannnya transfer kemampuan dann pengalaman penjaminan kredit dengan skim LPKD dari kedua perusahaan penjaminan yang sudah terbukti mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam bidang tersebut dalam bentuk technical assistence.
b). Pembentukan LPKD sanggup segera dilakukan lantaran memperoleh pinjaman kapasitas penjaminan dari perusahaan penjaminan tersebut sehingga persyaratan permodalan menjadi lebih rendah dan sanggup dipenuhi oleh seluruh pemda di Indonesia.
c) Dapat membuatkan risiko penjaminan ulang (re-guarantee) melalui prosedur holding company ini sehingga sanggup menurunkan risiko yang dialami oleh LPKD. Peranan pemerintah sentra dalam sistem holding ini ialah secara terus menerus mengatakan pinjaman finansial kepada kedua perusahaan penjaminan tersebut secara proporsioanal berdasarkan kinerja penjaminan kredit dengan jalan mengatakan Penyertaan Modal Negara (PMN). Dana PMN ini diposisikan sebagai modal untuk memperkuat kapasitas penjaminan bukan sebagai dana untuk membayar klaim lantaran diyakini kredit UMKM yang disalurkan diperkirakan akan terus meningkat yang membutuhakn peningkatan kapasitas penjaminan pula.
(3). Untuk mendukung kapasitas LPKD yang memerlukan persyaratan modal yang masih dianggap tinggi oleh Pemda, maka cara lain yang sanggup dilakukan ialah mem-PSO-kan perjuangan penjaminan kredit UMKM di kawasan yang ditanggung oleh Pemda. Mekanisme public service obligation (PSO) untuk kegiatan ini di tingkat provinsi atau kab/kota memang belum ada regulasinya yang terperinci mengaturnya dan PSO yang ada gres di tingkat Pemerintah Pusat yang diperuntukan pada kalangan perusahaan nasional milik negara menyerupai yang tercantum pada UU No. 40 tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas. Dengan menganggap penjaminan kredit dengan skim LPKD sebagai PSO daerah, maka LPKD kawasan mempunyai kemampuan penyelesaian klaim yang relatif tinggi lantaran kerugian LPKD akhir klaim ditanggung pemda sehingga sanggup menjadi alasan yang berpengaruh untuk menurunkan persyaratan modal pembentukan LPKD. Pemerintah Pusat sebagai regulator tentunya harus memikirkan terobosan kebijakan PSO kawasan ini supaya sanggup meningkatkan pelayanan kemanfaatan umum hingga seluruh pelosok kawasan di Indonesia yang seharusnya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kemanfaatan umum tersebut. Dalam menjalankan teladan PSO bagi perusahaan kawasan BUMN in perlu dilakukan secara profesional sehingga memenuhi penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan terhindar dari praktek KKN.
II. Rekomendasi kepada PT Askrindo
Potensi dan peluang penjaminan kredit di kawasan lima tahun ke depan diperkirakan relatif besar. Perkiraan peluang bisnis besar ini didukung dengan data penjaminan kredit UMKM dalam 2 tahun terakhir yang cenderung meningkat. Strategi yang disarankan oleh kami untuk menangkap peluang bisnis ini adalah:
1. Melakukan refreshing terhadap MOU LPKD yang telah ditandangani antara PT Askrindo dengan Pemerintah Daerah yang berjumlah sekitar 62 MOU dengan menunjukkan skim kerjasama co-sharing atau co-financing dalam pembentukan modal LPKD serta dalam merealisasikan MOU LPKD tersebut. Dengan demikian, permasalahan modal pembentukan LPKD sanggup dipecahkan secara bersama.
2. Menawarkan kerjasama technical assistance wacana penjaminan kredit kawasan kepada Pemerintah Daerah yang telah menandatangangi MOU dengan PT Askrindo
3. Merevitalisasi kemampuan bisnis LPKD PT Askrindo dengan cara memperkuat kompetensi SDM PT Askrindo dalam menjalani LPKD, menyempurnakan PKS/SOP dan Pedoman perjuangan LPKD, dan sosialisasi perjuangan LPKD ke seluruh kantor cabang.
4. Memperkuat taktik pemasaran LPKD untuk mengajak Pemerintah Daerah berhubungan dengan PT Askrindo dalam pembentukan LPKD sehingga sanggup meningkatkan pangsa pasar LPKD PT Askrindo.
5. Membuat suatu workshop atau Sarasehan lanjutan wacana Implementasi MOU LPKD yang telah ditandatangani oleh Pemerintah kawasan dan PT Askrindo untuk mencari solusi supaya LPKD sanggup berjalan dengan efektif dan efisien. Workshop ini akan melibatkan Kementerian Keuangan sebagai regulator, Meneg BUMN dan BI.
6. Memformulasikan peranan PT Askrindo sebagai holding company yang mempunyai saham di LPKD kawasan dan merumuskan skim re-guarante atau co-guarantee dalam penjaminan kredit kawasan bersama LPKD. Formulasi holding company dan rumusan skim re-guarantee/co-guarantee tersebut sanggup ditawakan kepada Pemerintah Daerah yang mempunyai impian berpengaruh membentuk LPKD.
Demikian, laporan dan rekomendasi kami sampaikan untuk menanggapi perkembangan LPKD yang menerima perhatian serius dari pemerintah Pusat dan Daerah , Bank Indonesia dan praktisi LPKD .
Jakarta, 3 Maret 2010
Peserta Askrindo
Mulyono
Jumat, 02 Januari 2009
Laporan Workshop Pengembangan Lpkd Di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar